Bhu dan Putus Cinta Pengungsi Rohingya

“Ia membuatkan hidangan khusus untuk saya.” Bhu seakan kembali pada kehidupannya puluhan tahun silam. Menyisakan kenangan yang sangat membekas dan sulit dihilangkan.
By TEUNGKUMALEMI
Filed: 13 Desember 2023, 11:09

 

BANDA ACEH, Pantè Ceureumén

BHU –Abu Nawastewe– menatap nanar bekas kamp pengungsian warga Vietnam di pulau Galang. Saat diwawancarai jurnalis pada tahun 2020 lalu, usianya telah beranjak 43 tahun. Tatapan Bhu menembus lorong waktu hingga 30 tahun silam.

Ia bergeser beberapa langkah dan duduk bersila di atas rerumputan tanah berbukit. Depan pintu masuk bekas Rumah Sakit Camp Sinam yang terdapat di turunan bukit tersebut. Kini tempat merawat para pengungsi Vietnam itu hanyalah bangunan tua yang telah lapuk.

Bhu datang ke pulau Galang bersama orang tuanya tahun 1980 saat usia dia baru beranjak tiga tahun. Ketika itu pulau Galang ramai dengan pengungsi asal Vietnem dan Kamboja. Jumlahnya mencapai 250 ribu jiwa. Mereka melarikan diri dari negaranya yang dilanda perang.

Perahu-perahu yang dulu mereka gunakan kini menjadi saksi bisu sejarah pulau Galang.

Bhu bercerita ia hampir saja menjadi warga negara Australia atau Amerika Serikat. Jika orangtuanya mengizinkan, ia tak mungkin berpakaian biru hitam sebagai petugas Ditpam Badan Pengusahaan Batam sekarang ini.

Kehidupan Bhu pada masa kecil hingga usia 19 tahun lebih banyak ia habiskan di kamp para pengungsi. Kesehariannya bermain hingga berkelahi dengan anak-anak Vietnam. Bahkan ia sering menginap dan mempunyai dua orangtua angkat.

Orangtua kandung Bhu tinggal di Sijantung, kampung nelayan di pulau Galang.

Pada masa itu, nelayan asal Sijantung hidup makmur karena hasil tangkapan mereka langsung ditampung di kamp. Ibu kandung Bhu juga bekerja di Koperasi Puskopal yang menyediakan kebutuhan sehari-hari untuk pengungsi dan warga Sijantung.

Ayahnya Bhu bekerja sebagai penggarap kebun dan hasil panennya dijual ke pasar.

“Kalau sakit, kami juga bisa berobat gratis,” sebutnya. “Bahkan saya sunat gratis.” Bhu tak mampu menahan gelak tawanya.

Peta Pulau Galang

Pria berperawakan kecil itu mengisahkan, kehidupannya di barak pengungsi yang paling berkesan adalah bersama mama Chi Kuchi. Orangtua angkat kedua baginya setelah Mr. Phuc.

Saat Mr. Phuc mendapat suaka politik ke Australia, Bhu sempat diajak karena ia juga terdaftar sebagai anggota keluarga pria asal Vietnam itu.

Sepeninggal Mr. Phuc, Bhu kecil lalu menjadi anak angkat mama Chi Kuchi. Keluarga pengusaha asal Vietnam.

Jiwa usaha mama Chi juga tumbuh saat ia menempati barak pengungsi di pulau Galang. Ia membuat kue untuk dijual di pasar.

MORE COVERAGE:
Maaf, di Pemilu 2024 ini KTP Kami Masih Merah Putih

 

Kue yang dibuat mama Chi adalah khasnya Vietnam. Banh do pown. Terbuat dari kacang.

“Enak sekali,” kenangnya.

Bhu bertugas mengantar kue tersebut ke kedai. “Selalu laris.”

Mama Chi, kenang Bhu, menghargai ia sebagai seorang muslim. Meski ia masih anak-anak, tetapi mama Chi selalu memisahkan kuali dan piring makanan dengan anggota keluarganya yang lain.

“Ia membuatkan hidangan khusus untuk saya.” Bhu seakan kembali pada kehidupannya puluhan tahun silam. Menyisakan kenangan yang sangat membekas dan sulit dihilangkan.

Perhatian keluarga mama Chi bahkan sampai pada hal-hal kecil dan detail. Bhu juga bercerita tentang celananya yang koyak. Lalu mama Chi menjahitnya agar layak untuk ia pakai kembali. Keakraban itu sampai membuat Bhu fasih berbahasa Vietnam.

Bhu bersama keluarga mama Chi hidup di barak dua lantai. Bagian bawahnya adalah dapur untuk memasak.

Di lantai dua, keluarga mama Chi menempati satu sekat ruangan dari banyak sekat yang ada. Sebagian lainnya berupa los untuk para pengungsi individu tanpa keluarga.

Hari yang ia tak ingat lagi tahunnya, mama Chi dan keluarganya mendapatkan suaka politik ke Amerika Serikat. Nama Bhu tertera di dalam daftar keluarga mama Chi dan menjadi salah satu penerima suaka. Tetapi orangtua kandungnya kembali tak mengizinkan.

“Kalau saya tidak ada di sini, siapa yang akan mengurus kamu, Bhu?”

Ia masih ingat betul ucapan mama Chi kala itu. Bhu adalah nama penggilan yang diberikan pengungsi Vietnam kepadanya. Bhu adalah ejaan Vietnam dari nama aslinya yang bersuku kata awal Abu –Abu Nawastewe–.

Saat barak-barak kamp pengungsi telah kosong, Bhu masih rajin berkunjung dan tidur ke sana untuk mengobati rasa rindunya kepada keluarga Chi Kuchi. Rutinitas itu berhenti saat bangunan-bangunan barak mulai banyak ditumbuhi ilalang dan roboh satu persatu.

Bhu mengaku tak lagi berani.

Tetapi kerinduannya kini terobati dengan semakin banyaknya jalinan komunikasi. Para eks pengungsi Galang yang kini telah tinggal dan menetap di berbagai negara juga telah terhubung dalam komunitas Galang Camp.

Mereka mengobati perasaan rindu satu sama lain melalui grup WhatsApp, Facebook maupun aplikasi Viber dan Zalo. Bhu adalah salah satu anggota komunitas itu. Ia terbiasa berbahasa Vietnam saat berkomunikasi dengan mereka.

 

Opsi Rohingya di Pulau Galang

Pemerintah Indonesia melalui Wakil Presiden Ma’ruf Amin sempat menyebut opsi pulau Galang sebagai tempat penampungan pengungsi Rohingya.

Ma’ruf Amin menyampaikan hal itu usai menghadiri peluncuran Indonesia Sharia Economic Outlook (ISEO) 2024 dan peresmian Universitas Indonesia Industrial Government (I-GOV) ke-3 tahun 2023 di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (5/12/2023).

Tetapi tidak ada respon setelah itu. Malah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, M. Mahfud MD menyatakan penolakannya.

“…. Justru jangan sampai di pulau Galang,” kata Mahfud usai memimpin rapat membahas pengungsi Rohingya di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu (6/12/2023).

Mahfud telah memerintahkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) R.I., Tito Karnavian untuk berkomunikasi dengan para penjabat gubernur dari Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Riau untuk mencari lokasi lain sebagai tempat penampungan sementara pengungsi Rohingya.

Coxs Bazar Rohingya Refuge

Coxs Bazar Rohingya-Refuge Scructue
Kamp pengungsian Cox’s Bazar di Bangladesh yang ditempati etnis muslim Rohingya. Ini adalah kamp pengungsian paling memprihatinkan di dunia. Dihuni oleh sekitar 1 juta jiwa pengungsi. (Ilustrasi: ALJAZEERA)

People Smuggling

Indonesia dinilai terjebak antara isu kemanusiaan atau memprioritaskan keamanan dalam negeri atas gelombang pengungsi besar-besaran muslim Rohingya ke Aceh. Gelombang pengungsian yang diduga sebagai bagian people smuggling.

Hoaks kini juga bertebaran di jagat maya dan masyarakat Aceh mulai menunjukkan ketidaksenangannya terhadap etnis Rohingya. Berbanding terbalik ketika gelombang awal pengungsi muslim itu didamparkan ke Aceh.

Anggota Human Rights Resource for ASEAN, Rafendi Djamin mengatakan, para pengungsi Rohingya lebih tepat disebut sebagai people smuggling. Hal ini karena ada keinginan dari orang itu untuk keluar dan membayar kepada jaringan penyelundup.

“Mereka dijanjikan untuk bisa berangkat,” kata Rafendi.

Berbeda dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dimana korbannya tidak sukarela untuk ikut. Dia biasanya dijebak dan ditipu, kemudian dieksploitasi.

“Tidak tepat mengatakan bahwa Rohingya adalah korban TPPO. Lebih banyak people smuggling,” lanjutnya.

Para pengungsi etnis muslim Rohingya. (Foto: Getty Images via BBC)

Adanya prople smuggling kemudian terbukti dengan tertangkapnya HM, 70, pria asal Bangladesh. Ia menyeludupkan para pengungsi muslim Rohingya dalam dua gelombang dengan bayaran Rp3,3 miliar.

Kapolres Pidie, Aceh, AKBP Imam Asfali mengatakan, untuk anak-anak para agen penyeludup mematok biaya 50.000 taka atau Rp7 juta. Sementara orang dewasa sebesar 100.000 taka atau sekitar Rp14 juta. Masing-masing perorang.

Rafendi pernah bertugas sebagai Wakil Indonesia di Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN pada 2009-2015. Ia menyebut sudah mulai mengendus peran penyelundup manusia dalam deras arus pengungsi Rohingya sejak 2015, ketika terjadi krisis Laut Andaman.

Ia mendesak Indonesia untuk memperkuat kerjasama ASEAN agar kejahatan lintas batas seperti penyelundupan orang ini dapat diselesaikan dengan baik.

“Indonesia harus taking lead,” ujarnya.

Menurut Rafendi, para penyelundup manusia biasanya membawa para pengungsi ke Aceh sebagai tempat transit. Dari Aceh, mereka akan dibawa ke Malaysia melalui jalur darat.

“Dulu tahun 2015 pengungsinya banyak. Terus tiba-tiba menyusut jadi puluhan yang tersisa. Ke mana mereka? Mereka lari,” sebutnya.

Kalau bicara kejahatan penyelundupan manusia, lanjut Rafendi, itu bisa melibatkan orang lokal.

“Lebih dari itu juga bisa melibatkan oknum-oknum yang ada di dalam pengungsi itu sendiri,” tegas Rafendi. (*)

Sumber:

  1. Republika
  2. BBC Indonesia
  3. Detik Sumut
  4. Antara News

Tim penulis special report memfasilitasi para tokoh untuk memperkuat pendidikan politik pemilih

Editor: Teungkumalemi

Penulis: Al-Ghifari

Copy writer: Azzaheera

dariaceh

Follow Dariaceh[dot]com

Other Dariaceh Special Report

Kerajaan Samudera Pasai dalam Catatan Marco Polo

Tuduhan tentang praktik kanibalisme dan mitos manusia berekor memunculkan kontroversial dalam catatan perjalanan Marco Polo tentang kerajaan-kerajaan di Sumatera.  By TEUNGKUMALEMI Filed: 30 Desember 2024, 10:25  LHOKSEUMAWE,...

Lafran Pane, Behind the Scenes

Ahmad Fuadi, penulis novel “Lima Menara” yang sangat populer di Indonesia begitu bergejolak hasrat jiwanya. Ia ditawari menulis novel biografi “Lafran Pane”. Sosok Pendiri...

D + A

O R G A N I Z E D

Copyright ©2024 Dariaceh.com. All rights reserved. The Dariaceh.com is not responsible for the content of external sites. Read about our approach to external linking.