Ia berusaha tegar dan melupakan Umar (Teuku Umar) yang telah syahid. Bersama anak mereka Cut Gambang dan pasukan kecilnya, Cut Nyak Dhien bertahan walau kesulitan mendapatkan makanan.
Usianya terus menua. Menginjak 51 tahun ketika Umar syahid di Lhok Bubon 11 Februari 1899. Ia terus berjuang dengan sebilah rencong, meskipun mata rabun dan pinggangnya encok.
Dhien dan pasukannya bertempur dengan taktik perang gerilya. Keluar masuk hutan. Ia berhasil merepotkan Belanda, tetapi jumlah pasukannya terus berkurang. Dari 300 orang hanya menyisakan beberapa saja di tahun 1905.
Hari itu Pang Laot, pengawal setia Umar dan Dhien berpikir keras. Ada perasaan iba di hatinya melihat kondisi Dhien yang sakit-sakitan masih bertahan bergerilya di hutan.
“Takluk pada kaphe Belanda?” tanya Dhien mendengar usul Pang Laot.
“Semoga Allah menjauhkan perbuatan yang hina itu dari diriku,” pungkasnya.
Tetapi diam-diam, Pang Laot menghubungi Belanda dan memberitahukan tempat persembunyian Cut Nyak Dhien dengan sejumlah syarat.
Pang Laot meminta Belanda mengobati penyakit Dhien dan meminta agar ia tidak dibuang dari Aceh. Belanda menyetujui syarat Pang Laot. Walaupun kemudian mereka mengingkarinya juga.
Ketika Belanda datang untuk menangkapnya, Dhien sedang berzikir. Ia masih berusaha melawan dengan sebilah rencong.
Pang Laot mencoba membujuk wanita yang ia agungkan itu. Ia terkejut mendengar reaksi Dhien, “Pengkhianat busuk, lebih baik kau kasihani aku dengan menikamku mati dari belakang.”
Belanda menyita rencong Cut Nyak Dhien dan membawanya ke Leiden, Belanda. Sementara Cut Gambang berhasil lolos dan melanjutkan perjuangan kedua orang tuanya.
Baca juga: Pocut Meurah Intan, Bukan Perlawanan Biasa Kesultanan Aceh
Wanita Berparas Cantik
Pada awalnya ia adalah perempuan Aceh biasa yang cantik parasnya. Terbiasa belajar agama hingga menguasai bahasa Arab dengan fasih. Orangtuanya mengajarkan ia cara memasak dan melayani suami dengan baik.
Belum genap 12 tahun, para lelaki mulai menaruh hati padanya. Banyak diantara mereka berusaha melamar.
Nasab keturunannya adalah Datuk Makhudum Sari. Keturunan Laksamana Muda Nanta. Perwakilan Kesultanan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda di Pariaman, Sumatera Barat.
Datuk Makhudum Sari datang ke Aceh pada abad ke-18. Masa pemerintahan Sultan Jamalul Badrul Munir.
Tetapi pada usianya yang ke-12 tahun, orang tua Cut Nyak Dhien memilih Teuku Cek Ibrahim Lamnga sebagai suaminya. Putra dari Uleebalang Lamnga XIII. Wilayah kekuasaannya membentang hingga ke pulau Weh di Sabang. Keduanya menikah pada tahun 1862.
Cut Nyak Dhien lahir di wilayah VI Mukim tahun 1848. Ayahnya adalah Uleebalang VI Mukim. Berkedudukan di Lampadang. Wilayah Peukan Bada, Aceh Besar.
Awalnya keduanya hidup seperti orang-orang Aceh lainnya. Teuku Cek Ibrahim Lamnga adalah seorang pemuda yang sangat mencintai Cut Nyak Dhien. Tetapi keduanya tetap menjadikan fi sabilillah sebagai tujuan utama kehidupan mereka.
11 tahun berlalu, 26 Maret 1873, Belanda memproklamirkan perang dengan Aceh.
Teuku Cek Ibrahim Lamnga adalah seorang pejuang Aceh yang tangguh. Belanda melego jangkar kapal perang Citadel van Antwarpen. Awalnya mereka masih belum berani melakukan invasi darat dan hanya menembakkan meriam ke daratan Aceh.
Baca juga: Kedatangan Orang Arab Abad 1 H di Aceh [Tashi] Dalam Catatan Tionghoa
Tewasnya Jenderal Kohler
Tanggal 8 April 1873, Belanda mulai melakukan invasi darat di bawah pimpinan Jenderal Harmen Rudofl Kohler dengan membawa 3.198 prajurit. Saat itu, Ibrahim Lamnga adalah panglima tempur lapangan yang berada di garis depan pertempuran.
Para pejuang Aceh berhasil menaklukkan Belanda. Jenderal Kohler tewas. Tetapi Belanda telah berhasil membakar Masjid Raya Baiturrahman.
Ibrahim Lamnga berjuang bersama Teuku Nanta Setia, ayahnya Cut Nyak Dhien, Teungku Imum Lueng Bata, dan adik iparnya sendiri, Teuku Rajoet.
Belanda terus berhasrat menguasai Aceh. Masih di tahun 1873, Jenderal Jan van Swieten mendapat perintah untuk menaklukkan wilayah VI Mukim. Dhien dan bayi kecilnya terpaksa hidup berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lainnya di wilayah VI Mukim.
27 April 1874, Ibrahim Lamnga memimpin rakyat wilayah VI Mukim menyerbu Meuraksa melalui rawa Cangkul dan sungai Ning. Teuku Nek Meuraksa berkhianat kepada Aceh dengan memihak Belanda agar kekuasaannya terjaga.
Tetapi Belanda membantu Teuku Nek Meuraksa. Akhirnya pasukan Ibrahim Lamnga harus mundur kembali ke wilayah VI Mukim.
Pasukan pejuang dan Ibrahim Lamnga kian terdesak. 24 Desember 1875, terjadi gelombang besar pengungsian, mulai dari Cut Nyak Dhien bersama bayi kecilnya dan ibu-ibu wilayah VI Mukim.
Tidak berselang lama setelah itu, 30 Desember 1875, Belanda berhasil menaklukkan seluruh wilayah perbatasan IX Mukim dan VI Mukim. Teuku Ibrahim Lamnga terus berjuang merebut kembali wilayah VI Mukim.
Pasukan Ibrahim Lamnga sebenarnya berhasil menguasai kembali Krueng Raba pada Februari 1878 dan membuat pasukan Jenderal Van der Heijden berantakan. Tetapi pengkhiatan kembali terjadi.
Ibrahim Lamnga Syahid
Perjuangan Ibrahim Lamnga berakhir di Gle Tarum, 29 Juni 1878. Ia bersama-sama Teuku Rajoet, adiknya Cut Nyak Dhien, dan Panglima Nyak Man berkumpul di Gle Tarum untuk merebut kembali Krueng Raba.
Tetapi rencana mereka ‘tercium’ Jenderal Van der Heijden. Ibrahim Lamnga lalu syahid di tangan Belanda dan dimakamkan di dekat masjid Montasik di Aceh Besar.
Dhien menunjukkan betapa besar cintanya kepada Ibrahim Lamnga. Syahidnya sang suami menjadi awal perjuangannya untuk ikut bertempur melawan Belanda.
Inilah awal dari kemarahan besar Cut Nyak Dhien dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Baca juga: Banda Aceh Tahun 1621 Dalam Gambaran Laksamana Perancis
Perjanjian Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar
Sulit bagi Cut Nyak Dhien untuk menikah kembali. Tetapi Teuku Umar menunjukkan ketertarikannya. Umar butuh istri yang dapat mendukungnya di medan perang.
Namun Dhien berkali-kali menolak Umar. Sampai kemudian Umar berjanji untuk mengikutsertakannya dalam perang melawan Belanda. Dhien tidak lagi dapat menolaknya.
Keduanya menikah tahun 1880. Perlawanannya bersama Teuku Umar terjadi setelah insiden Kapal Nicero dan “penyerahan diri” Teuku Umar kepada Belanda tahun 1884. Umar, Dhien dan pasukannya dengan bekal persenjataan Belanda berhasil merebut kembali wilayah VI Mukim.
Dhien, Umar, dan Nanta Setia lalu kembali ke wilayah tersebut dan menjadikan Lampisang sebagai pusat komando militer dan markas tentara Aceh.
Sampai usai “penyerahan diri” kedua Umar tahun 1893-1896. Dhien kembali bergabung bersama Umar yang membawa 1.080 senapan beserta 25 ribu butir peluru dan mesiu.
Belanda marah besar. Mereka menyebutnya dengan Het verraad van Teukoe Oemar dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Dhien dan Umar. Tetapi pasukan militer Belanda malah dilanda kekacauan. Beberapa kali jenderal militer harus diganti.
Hingga tanggal 11 Februari 1899, Umar syahid di Lhok Bubon, Meulaboh. Pang Laot menunaikan janjinya dengan membawa jasad Teuku Umar ke hadapan Cut Nyak Dhien.
Diasingkan ke Sumedang
Belanda tidak memegang janjinya kepada Pang Laot. 11 Desember 1906, Dhien diasingkan juga ke Sumedang bersama seorang panglima perangnya dan seorang anak berusia 15 tahun bernama Teuku Nana.
Belanda terlalu khawatir dengan keberadaan Cut Nyak Dhien di Aceh. Ketika Belanda membawanya ke Sumedang, Dhien satu kapal dengan para tahanan politik lainnya.
Tetapi tidak ada tahanan yang mengetahui identitas Dhien. Belanda melarang para tentaranya mengungkapkan identitas tahanan.
Gubernur Jenderal Belanda, J.B.V Heuts menyambut kedatangan Dhien di Sumedang. Waktu itu, Bupati Sumedang adalah Pangeran Aria Suriaatmaja. Mendapat nama lakap Pangeran Mekah.
Pangeran Mekah lalu menempatkan Dhien di rumah K.H. Sanusi, seorang ulama Masjid Agung Sumedang. Tetapi karena rumah itu sedang direnovasi, Dhien tinggal sementara di rumah H. Ilyas yang tidak lama menyadari kalau Dhien adalah seorang yang pandai dalam ilmu agama.
Di sinilah awalnya Dhien mulai mengajar kepada ibu-ibu di Sumedang walau matanya rabun. Ketika pindah ke rumah K.H. Sanusi tiga minggu kemudian, beliau juga masih mengajarkan ibu-ibu di sana.
Di Sumedang Cut Nyak Dhien sama sekali tidak mau menerima pemberian Belanda. Karena itulah Pangeran Mekah sangat memperhatikan keperluan beliau. Sampai akhirnya Cut Nyak Dhien wafat tanggal 6 November 1908. Masyarakat Sumedang memanggilnya Ibu Suci dan mendapat julukan Ibu Perbu (Ibu Ratu).