Novel sejarah dengan buku sejarah ilmiah tentu saja berbeda. Novel sejarah mengambil plot atawa alur cerita yang diyakini penulis logis dan tidak berbenturan antara satu fakta sejarah dengan fakta sejarah lainnya. Novel sejarah sebagai sebuah karya sastra juga tidak bisa lepas dari imajinasi penulis untuk mengajak pembaca menjadi “aku” dari tokoh utama sebuah cerita. Tapi novel sejarah tidak pernah lari dari fakta sejarah sebenarnya. Seorang penulis novel sejarah yang baikpun juga pasti akan melakukan riset ke objek sejarah yang ditulisnya.
Sementara buku sejarah ilmiah memuat fakta-fakta sejarah berdasarkan penelitian para sejarawan. Fakta-fakta sejarah yang kadang berbenturan dijadikan sebagai kajian lebih lanjut sesuai dengan literatur yang ada. Buku sejarah ilmiah bersifat lebih kaku dan cenderung membosankan untuk ditelaah. Padahal alur cerita dari sejarah itu sendiri sangat menarik untuk disimak. Hal ini diantaranya karena plot cerita yang tidak bisa dibuat runut. Ditambah bahasa yang disajikan dalam buku sejarah ilmiah membatasi pembaca untuk ikut dalam alur cerita. Keduanya menjadi saling berdiri sendiri. Hal inilah kenapa banyak anak muda yang tidak lagi melek dengan sejarah bangsanya sendiri.
Kehadiran novel sejarah yang menjadi tren di beberapa wilayah di Indonesia. Terutama di Pulau Jawa dengan terbitnya Novel Gajah Mada dan Diponegoro diharapkan menjadi antitesis dari realita di atas.
Namun tidak bisa dipungkiri bahwa novel sejarah kadang menimbulkan apriori di kalangan sejarawan. Novel sejarah dianggap memutar balikkan fakta sejarah. Cenderung vulgar dengan tokoh-tokoh yang bengis dan penuh dendam.
Hal ini disadari sepenuhnya oleh penulis. Khusus untuk novel sejarah yang kini ada di tangan pembaca, penulis berusaha merubah paradigma itu. Novel Putroe Phang mencoba menghadirkan fakta-fakta sejarah dengan imajinasi yang tidak vulgar. Tanpa penokohan yang penuh dendam, tapi tetap memikat dalam alur ceritanya.
Meski ada beberapa plot yang tidak sesuai dengan yang umum dibaca di blog-blog penulis penikmat sejarah. Penulis menyebut penulis penikmat sejarah, bukan sejarawan karena cerita yang umum sekarang dibaca di blog-blog tersebut sebenarnya masih merujuk pada catatan sejarah atau hikayat-hikayat yang malah juga ditulis oleh para sastrawan. Kemudian disajikan berdasarkan selera penulis.
Penulis mencontohkan cerita yang umum dibaca saat ini yang menyebutkan Sultan Iskandar Muda menikahi Putri Kamaliah (seterusnya disebut: Putroe Phang) setelah melalui proses pertukaran istri dengan Raja Pahang. Sultan Iskandar Muda menikahi Putroe Phang dan Raja Pahang menikahi salah satu istri Sultan Iskandar Muda setelah penaklukan Malaka oleh Kerajaan Aceh pada tahun 1619 (seterusnya dalam: Masehi). Dalih yang digunakan adalah untuk memperkuat hubungan antara Kerajaan Aceh dengan Pahang.
Atau cerita umum lain berdasarkan Hikayat Malem Dagang bahwa Putroe Phang dibawa oleh dua Raja asal Malaka yang disebut dengan nama Raja Ujud dan Raja Raden. Keduanya disebut berselisih paham siapa yang lebih berhak menikahi Putroe Phang setelah menaklukkan Pahang. Keduanya berlayar membawa Putroe Phang menghadap ke Kerajaan Aceh. Karena takut Raja Ujud akan ingkar, Raja Raden mengusulkan Sultan Iskandar Muda untuk menikahi Putroe Phang. Usul itu kemudian disetujui. Tapi belakangan Raja Ujud memberontak kepada Kerajaan Aceh untuk merebut kembali Putroe Phang. Kalau merunut pada Hikayat Malem Dagang, maka peristiwa itu terjadi pada tahun 1613. Hal ini atas dasar saat Sultan Iskandar Muda menikahkan adik perempuannya dengan Raja Raden dan mengangkatnya sebagai Sultan Johor.
Cerita umum yang disajikan ini sebenarnya masih bisa dibantah dan diperdebatkan. Buku sejarah ilmiah Aceh Sepanjang Abad karya wartawan pejuang H. Muhammad Said (sumber utama penulisan novel ini) agaknya yang paling lengkap menyajikan beragam literatur tentang Kerajaan Aceh dan bisa dijadikan pijakan. Termasuk masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Buku ini memperbandingkan Hikayat Soeltan Atjeh Marhoem, Hikayat Malem Dagang, Bustanu’s-Salatin dan juga penuturan-penuturan utusan Raja James I asal Inggris, Thomas Best, utusan Raja Perancis Beauliau maupun catatan-catatan dari Portugis dan Belanda sebagai dua bangsa yang selalu bersitegang di Malaka waktu itu.
Kalau merujuk pada buku Aceh Sepanjang Abad, Bustanu’s-Salatin menyebut Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang pada tahun 1619 dan membawa Sultan Mahmud: Raja Pahang beserta permaisurinya dan putra Raja Pahang dari istrinya asal Siak, Tsani ke Aceh. Tapi tidak ada pertukaran istri sebagaimana yang umumnya dibaca. Sultan Iskandar Muda menikahi permaisuri Raja Pahang setelah Sultan Mahmud meninggal.
Namun di buku yang sama, mengutip Hikayat Soeltan Atjeh Marhoem, pada saat Sultan hendak mara ke Malaka dalam rangka menyerang Johor tahun 1613, disebutkan, permaisuri Sultan (anak Pahang yang arif bijaksana) mengingatkan Sultan agar saat melewati Asahan, Sultan tidak membunyikan meriam, karena Raja Asahan akan menanggapinya sebagai ajakan berperang. Penulis sendiri lebih tertarik menggubah novel Putroe Phang ini berdasarkan Hikayat Soeltan Atjeh Marhoem. Putroe Phang sebagai anak Pahang yang arif bijaksana.
Tentu ada catatan sejarah yang berbeda di sini. Kalau kita tarik kesimpulan, berdasarkan Bustanu’s-Salatin, Putroe Phang baru berada di Aceh pada tahun 1619. Sementara Hikayat Soeltan Atjeh Marhoem menyebut tahun 1613 Putroe Phang telah menjadi permaisuri Sultan Iskandar Muda.
Kalau ditilik lebih lanjut, hal ini juga berbeda lagi dengan Hikayat Malem Dagang, tahun 1613 disebut dua Raja asal Johor datang ke Aceh membawa Putroe Phang setelah menaklukkan Pahang. Seperti apa sebenarnya korelasinya sehingga pada tahun yang sama setelah mengangkat Raja Raden sebagai Sultan Johor yang dinikahkan dengan adiknya, Sultan menyerang Johor.
Fakta-fakta sejarah lainnya yang bisa dikuliti adalah terkait cacatan copland dari Thomas Best, utusan Raja James I yang pernah datang ke Aceh. Tidak mungkin Putroe Phang tiada cemburu. Tapi tidak ada literatur tentang itu dan ini kemudian yang penulis imajinasikan dengan tetap berpijak pada sosok Putroe Phang.
Begitu pula saat Raja Raden memulangkan istrinya yang juga adik Sultan Iskandar Muda dan cacatan Bustanu’s-Salatin yang menyebut Sultan Iskandar Muda baru menikahi Putroe Phang pada tahun 1920 dan Taman Ghairah yang baru dibuat pada masa Sultan Iskandar Tsani.
Di sinilah sebuah karya sastra kemudian menganalogikan hal ini menjadi sebuah plot yang tidak membingungkan, punya titik temu dan tetap berpegang pada literatur sejarah yang ada. Imajinasi, sekali lagi, hadir untuk menjembatani fakta-fakta sejarah yang sulit untuk dikorelasikan. Selain mengajak pembaca berada pada masanya sebuah kisah terjadi dan memberi pengajaran “hikmah” atas sebuah karya.
Penulis juga ingin kembali menekankan bahwa ini adalah karya sastra. Jembatan untuk mengetahui sejarah sebenarnya. Bukan sejarah seutuhnya.
Karya sastra, termasuk novel sejarah tetap mengandung imajinasi untuk menghasilkan sebuah cerita yang runut, renyah untuk dicerna, meski tetap tanpa melupakan fakta sebenarnya. Dan, pembaca bisa menjadi “aku” dari tokoh utama Novel Putroe Phang ini.
Novel inipun sesungguhnya belum selesai sampai akhir hayat Putroe Phang berada di Aceh. Masih belum terjawab respon Raja James I atas cacatan copland yang dibawa Thomas Best dan isi surat sesungguhnya Sultan Iskandar Muda kepada Raja James I.
Begitupun dengan kunjungan utusan Raja Perancis, Beauliau pada tahun 1921 yang disebut-sebut punya keterkaitan dengan Putroe Phang, hingga Sultan Iskandar Muda menolak segala tawaran kerjasama dengan Perancis, meski pada awalnya menyambut Beauliau dengan pesta megah. Bahkan, Beauliau kemudian menumpahkan segala kekesalannya melalui cerita yang menyudutkan Kerajaan Aceh.
Begitu pula dengan sebab-sebab perang Malaka tahun 1629 yang merupakan awal perang yang memudarkan kedigdayaan Kerajaan Aceh di Malaka. Dan, akhir masa kehidupan Putroe Phang.
Ini semua penulis maksudkan untuk terlebih dahulu melihat respon pembaca pada terbitan edisi perdana ini dan terpenting guna mengefesienkan cost atau anggaran yang harus dikeluarkan, baik oleh penerbit dan terutama pembaca. Dengan kata lain, harga jual dari novel ini dapat ditekan lebih murah untuk menarik minat pembaca sekalian.
Penulis sadar bahwa minat baca masyarakat kita di Aceh, termasuk di kalangan terpelajar masih rendah. Berbeda dengan beberapa daerah lainnya, khususnya di Pulau Jawa yang banyak terdapat sekolah-sekolah favorit dan perguruan tinggi ternama, seperti Jakarta, Depok, Bandung, Bogor, Yogyakarta, Malang, Surabaya dan lain-lain.
Disisi lain, kata-kata yang penulis gunakan dalam novel ini juga lebih padat dan melalui beberapa kali proses editing oleh penulis sendiri, sebagai upaya menekan cost tadi. Tapi tetap tidak mengurangi estetika sebuah novel yang kaya akan bahasa sastranya.
Edisi kedua dari novel inipun nantinya diharapkan dapat diterbitkan seiring dengan penerbitannya secara nasional. Sehingga, masyarakat Aceh dapat membaca novel ini sampai akhir riwayat Putroe Phang dengan cara “nyicil” yang tidak memberatkan, bersamaan (insya Allah) dengan masyarakat nusantara yang membaca novel ini secara utuh.
Akhirnya selamat membaca! Saran dan kritik yang membangun tetap dibutuhkan. Semoga “aku” yang kita temukan mampu memberikan inspirasi bagaimana menjadikan kita kembali “Atjeh,” kembali “Nusantara,” kembali “Melayu” dan pastinya kembali “aku” sesungguhnya. Harapan penulis semoga Novel Putroe Phang ini dapat terpajang di rak-rak perpustakaan sekolah serta perguruan tinggi, dan dibaca oleh para siswa mulai dari tingkatan Atas/Aliyah hingga mahasiswa dan masyarakat umum. Salam dari penulis: Mardani Malemi alias Teungkumalemi.
***