Himne atau gita puja pada dasarnya merupakan nyanyian pujian yang dialamatkan kepada Tuhan. Dalam kamus Alfred’s Pocket Dictionary of Music himne didefinisikan sebagai “a song of praise to God” yang bermakna nyanyian pujian kepada Tuhan (Feldstein, 1985). Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring juga memberikan definisi yang relatif sama terhadap himne, yaitu “nyanyian pujaan (untuk Tuhan dsb)”. Namun definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring ini memberikan ruang lebih luas untuk pemaknaan himne, dimana peng-alamatan nyanyian tersebut “(untuk Tuhan dsb)” dibubuhkan tanda kurung sehingga himne ini tidak lagi hanya terbatas pada nyanyian pujaan terhadap Tuhan tetapi bisa juga nyanyian pujaan terhadap entitas-entitas yang lain. Pada tataran empiris, penggunaan himne juga sudah sangat umum diaplikasikan pada pujaan non-Tuhan seperti himne klub sepak bola, organisasi kemasiswaan, organisasi profesi, dan sebagainya.
Lebih dari sekedar gita untuk memuja Tuhan, himne sesungguhnya memiliki makna sangat luas dan sudah di interpretasikan secara sangat fleksibel oleh pihak berbeda yang memiliki kepentingan sendiri (Tumanan, 2015). Industri rekaman di Indonesia sudah membuat klasi>ikasi sendiri tentang musik yang mengandung pesan agama ini. Lagu-lagu yang bernuansa rohani Kristen disebut dengan musik atau rohani. Sedangkan lagu-lagu yang bernafaskan Islam disebut lagu religi. Tentu lagu pembedaan ini bagi kalangan industri musik memiliki motif penjualan dan pemasaran.
Sebagai bagian masyarakat Indonesia yang mendapatkan keistimewaan dan kekhususan pengakuan Negara pada sejarah, agama, dan kondisi sosial-budaya masyarakat Aceh menyalurkan loyalitas keindonesiaanya pembentukan Qanun Aceh tentang Himne Aceh yang berasaskan Keislaman. Dengan asas keislaman tersebut masyarakat Aceh berharap memancarkan semangat toleransi, keharmonisan, kekeluargaan, kepastian hukum, kepentingan umum, ketertiban, ketenteraman, kedamaian, persatuan, kehormatan, keserasian, dan keselarasan.
Pengakuan masyarakat secara filosofis terhadap Himne Aceh merupakan wujud kedaulatan rakyat Aceh yang terpateri dalam amanah Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (Memorandum of Understanding Between The Government of Republic of Indonesia And The Free Aceh Movement), Helsinki 15 Agustus 2005, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (MoU-Helsinki) sebagaimana yang dinyatakan juga sebagai perintah hukum melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dengan perkataan lain, Himne Aceh merupakan hasil realisasi kebudayaan yang direkonstruksikan bersama berupa peradaban sehingga hal itu membentuk suatu semangat ke-Aceh-an dan menjadi inspirasi kristalisasi dari MoU- Helsinki yang diimplementasikan dengan UUPA.
Dalam Pasal 28I ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan bahwa identitias budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Selanjutnya pasal 32 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan bahasa nasional. Kedua pasal konstitusi ini memberi ruang pada adanya himne Aceh sebagai simbol budaya dan ruang penggunaan bahasa daerah yang berstatus hukum.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, memberikan Aceh empat cakupan keistimewaan yang terdiri dari penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Undang-undang ini menjadi salah satu konsideran dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 yang mengamanahkan himne untuk diatur melalui sebuah Qanun Aceh.
UUPA yang merupakan penjabaran butir-butir MoU Helsinki ke dalam sebuah produk undang-undang. Terkait Himne Aceh, butir 1.1.5 MoU Helsinki menyebutkan “Aceh memiliki hak untuk menggunakan simbol-simbol wilayah termasuk bendera, lambang dan himne.” UUPA kemudian menjabarkan butir ini ke dalam Pasal 248 ayat (2) yang berbunyi “Pemerintah Aceh dapat menetapkan himne Aceh sebagai pencerminan keistimewaan dan kekhususan.” Mekanisme penetapan himne ini harus diatur melalui sebuah Qanun Aceh sebagaimana disebutkan dalam ayat (3) dalam Pasal 248 UUPA. Ketiga simbol wilayah sebagaimana diamanahkan dalam MoU Helsinki memiliki saling keterkaitan.
Pada tanggal 26 November 2018/18 Rabiul Awal 1440, atas rahmat Allah yang maha kuasa setelah melalui tahapan pembentukan Qanun Aceh sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan, dengan persetujuan bersama DPR Aceh dan Gubernur Aceh, Pemerintah Aceh telah menetapkan dan mengundangkan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2018 tentang Himne Aceh.
Prinsip penyusunan Qanun Aceh tentang Himne Aceh ini merujuk pada landasan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip pembentukan Qanun tersebut sudah memperoleh legitimasi secara yuridis dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kehidupan keislaman dan sosial-budaya masyarakat Aceh. Adapun prinsip yuridis penyusunan sebuah perundang-undangan di Negara Republik Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Untuk Provinsi Aceh, selain mengikuti prinsip yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, pembentukan peraturan perundang- undangan atau qanun juga harus mengacu pada Qanun Nomor 5 tahun 2011 tentang Pembentukan Qanun Aceh serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, yang mana dalam proses Fasilitasi di Kementerian Dalam Negeri sangat membantu untuk penyempurnaannya.
Masyarakat di Aceh terdiri dari berbagai elemen yang majemuk. Kemajemukan ini bisa dilihat dari berbagai dimensi: etnis, bahasa, wilayah tempat tinggal, agama, status sosial, dan berbagai dimensi kemajemukan lain. Dari dimensi etnis dan/atau bahasa, masyarakat Aceh memiliki 12 entitas etnis dan bahasa: Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Kluet, Batak, Alas, Sigulai, Devayan, Tamiang, Haloban, Jawa, dan keturunan Tionghoa. Mereka ada yang bertempat tinggal di walayah pesisir barat dan timur, dataran tinggi, dan kepulauan. Dari sisi status sosial dan ekonomi, masyarakat Aceh juga bisa diategorikan dalam kelas bawah, menengah, dan atas. Status sosial ekonomi ini juga berkaitan erat dengan tingkat pendidikan. Terakhir, biarpun tidak begitu kentara, ada juga dimensi agama yang berbeda di antara kelompok masyarakat yang ada di Aceh ini.
Kemajemukan ini tentu memiliki konsekuensi serius dalam menjalani kehidupan bermasyarakat sebagai bagian dari sebuah kesatuan di Aceh dan akan mempengaruhi dinamika hubungan antar kelompok. Kemajemukan sosial budaya ini akan berakibat pada perbedaan cara pandang antar kelompok yang ada yang dapat bermuara kepada kon>lik sosial apabila tidak diintervensi melalui sebuah rekayasa sosial.
QANUN ACEH NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG HIMNE ACEH
Pengertian
Himne Aceh adalah sebuah gita puja yang menyanjung dan memuliakan keberadaan Aceh dalam kaitannya dengan kemakmurannya sebagai sebuah daerah syariah yang terus menerus mendapatkan berkah dari Allah.
Subtansi
Himne Aceh berjudul “Aceh Mulia” merupakan hasil ciptaan pemenang Sayembara Himne Aceh dan disempurnakan oleh tim yang ditunjuk oleh Panitia Sayembara. Himne Aceh bertempo sedang. Himne Aceh bersukat sederhana perempatan. Hak cipta atas Himne Aceh yang disempurnakan sebagai kekayaan intelektual di bidang seni, dengan Qanun ini beralih atau dialihkan hak ekonominya dari pemenang sayembara kepada Pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh berhak mengajukan pencatatan ciptaan atas Himne Aceh sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penggunaan
Himne Aceh WAJIB diperdengarkan dan/atau dinyanyikan (Penggunaan Wajib – Harus)
- setelah lagu kebangsaan “Indonesia Raya” untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil Presiden;
- setelah Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” untuk menghormati Gubernur dan/atau Bupati/Walikota;
- setelah pengibaran dan/atau penurunan bendera merah putih yang diiringi Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya” dan untuk menghormati pengibaran dan/atau penurunan bendera Aceh;
- setelah lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Aceh dan/atau Pemerintahan Kabupaten/Kota di Aceh;
- setelah lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dalam acara pembukaan sidang paripurna DPRA dan DPRK;
- setelah lagu kebangsaan “Indonesia Raya” untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat dalam kunjungan resmi; dan/atau
- setelah lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dalam kegiatan pendidikan, kebudayaan, olahraga tingkat daerah, nasional, dan internasional serta kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang diselenggarakan di Aceh.
Selanjutnya Himne Aceh DAPAT diperdengarkan dan/atau dinyanyikan (Penggunaan dapat – Pilihan)
- sebagai pernyataan rasa kebanggaan terhadap Aceh;
- dalam rangkaian program pendidikan dan pengajaran;
- setelah lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dalam acara resmi lainnya yang diselenggarakan oleh organisasi, partai politik, dan kelompok masyarakat lain di Aceh; dan/atau
- dalam acara-acara lainnya baik di Aceh maupun di luar
Terjemahan
- Himne Aceh dapat diterjemahkan ke dalam semua bahasa yang digunakan di Aceh.
- Kabupaten/kota diperbolehkan menerjemahkan Himne Aceh ke dalam bahasa daerah yang dominan di daerah tersebut dan menyanyikan Himne Aceh pada acara Penggunaan Wajib dan Penggunaan Dapat)
- Pemerintah Kabupaten/Kota setempat menunjuk Tim Penerjemah Himne Aceh yang memenuhi syarat kredibel.
- Himne Aceh diterjemahkan agar setiap anggota masyarakat Aceh dapat menyanyikannya dengan penuh penghayatan.
- Himne Aceh diterjemahkan agar tujuan dan hakikat Himne Aceh sebagai pemersatu rasa dan karsa masyarakat Aceh dapat tercapai dengan penghayatan penuh.
- Himne Aceh terjemahan di atas tidak untuk
Ketentuan Lain-lain
Dalam hal Himne Aceh digunakan untuk tujuan komersial, harus mendapatkan persetujuan dari Gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penutup
Semoga melalui Himne Aceh sebagai upaya pendekatan rekayasa sosial dapat menyatukan keberagaman Aceh dan dapat menyatukan perasaan dan menanamkan kecintaan orang Aceh terhadap Aceh.
Sudut Kota Jakarta, 21 Mei 2024
*) Muhammad Junaidi
Anggota Tim Penyusun dan Pembahas Rancangan Qanun Aceh tentang Himne Aceh (2018)