Ahmad Fuadi, penulis novel “Lima Menara” yang sangat populer di Indonesia begitu bergejolak hasrat jiwanya. Ia ditawari menulis novel biografi “Lafran Pane”. Sosok Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Bersama para penulis Indonesia, ia melakukan residensi ke Amerika Serikat. Di sana, ia mempelajari hasil riset Lafran Pane. Hal yang malah tidak ia temukan di Indonesia.
Ia (Ahmad Fuadi) menulis, “While others are busy campaigning, he will remain silent. He has no desire for the power around him. Instead, he gives that power to others.”
“Ketika orang lain sibuk kampanye, dia akan diam saja. Dia enggak mau kekuasaan yang ada di sekitar dia. Kekuasaan itu malah dikasih ke orang lain.”
Lafran Pane pernah didebat dan dianggap tidak masuk akal ketika menyerahkan kepemimpinan HMI ke M.S. Mintaredja pada 22 Agustus 1947. Hanya berselang tujuh bulan sejak ia mendirikan HMI. 5 Februari 1947.
Ia tidak ingin pengindentikan HMI dengan dirinya. Prof Agussalim Sitompul pernah bercerita langsung kepada penulis hal ini.
“Tanggal lahir Lafran Pane yang benar itu 5 Februari, bukan 22 April.”
Sejarwan HMI ini hadir ke forum Intermediate Training (LK-II) Nasional di Balai Diklat BKPSDM Aceh tahun 2023.
“Qadarullah,” saya adalah ketua panitianya dan Kanda Muhammad Dayyan, Ketua Umum HMI Cabang Banda Aceh kala itu.
Pencantuman tanggal lahir 22 April di administrasi kependudukannya dilakukan sendiri oleh Lafran Pane.
“Kanda kita ini (merujuk pada Lafran Pane, Red) malah mengubah tanggal lahirnya agar tidak terjadi penidentikan HMI dengan dirinya….”
“Be humble, prof?”
“Behind the scenes…” Kami sama-sama tertawa di sebuah bilik kamar.
“After HMI grew.”
“Kongres 1966, remember?”
Kita tertawa teringat peristiwa Kongres HMI tahun 1966 di Surakarta, ketika PB HMI dipimpin Sulastomo.
Di sana juga ada Kanda Fadhli. Alumni jurusan Sejarah Peradaban Islam yang sangat konsen dengan sejarah HMI. Kanda Fadhli juga punya keahlian sebagai terapis pijat refleksi.
Saya pernah tiba-tiba ‘ditarik’ oleh beliau saat sedang sibuk dengan kepanitiaan Intermediate. Sampai sekarang saya tidak pernah lupa dengan pijat refleksinya.
Dengan sikap humble, rendah hatinya, Lafran Pane yang memang tak memiliki undangan ikut hadir ke kongres. Tetapi ia dihadang di depan pintu masuk. Pemeriksaan kala itu sangat ketat karena situasi politik Indonesia yang sedang idak stabil.
Lafran Pane tetap berusaha untuk bisa masuk dengan menyebut diri ‘alumni’. Sampai kemudian panitia kongres meaporkannya ke Ketua Umum PB HMI.
Sulastomo lalu bertanya ciri-ciri orang tersebut. “Pendek dan gemuk, serta berkulit putih.” Ia mulai curiga.
Benar saja, orang itu adalah Lafran Pane.
Peristiwa seperti itu bukanlah yang terakhir. Di beberapa kongres lainnya, Lafran Pane kerap tidak dikenali. “Sempat dicurigai sebagai mata-mata, ya prof?”
Prof Agussalim kembali mengingat bagaimana Lafran Pane punya kebiasaan duduk di belakang setiap kali kongres.
“HMI adalah suatu cetusan dari tekad mulia, suatu manifestasi dari “kalimat thoyyoibah” (pernyataan baik), diumpamakan di dalam Al-Quran sebagai pohon yang baik. Uratnya menghujam ke bumi dan cabang-cabangnya menjulam ke langit. Memberikan buanya setiap waktu dengan izin Tuhan.” – Nurkholish Madjid.