Keluarga Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi terheran-heran melihat kepulangan Teungku Chiek Muhammad Zein, anak dari ulama yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Chiek Awe Geutah itu.
Di jemarinya terselip cincin yang diwasiatkan Teungku Chiek Awe Geutah. Padahal sebelumnya ia berada di Negeri Arab dan baru pulang saat Cheik Awe Geutah meninggal.
Wasiat itu disebut terkait dengan persinggahan Belanda di Aceh.
Bahkan penjajah dari Negeri Kincir Air itu sampai mengambil ulee rinyeun (tangga) dan pintu dari rumah yang didiami Teungku Chiek Awe Geutah sebagai bukti penaklukan Aceh.
***
Teungku Chiek Awe Geutah adalah seorang ulama sufi asal Kan’an Gujarat atau sekarang dikenal dengan nama Irak. Nama aslinya adalah Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi
Perjalanannya Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi hingga menetap di Aceh dilakukan untuk menghindari pertentangan antar pemeluk agama Islam karena perbedaan khilafiyah.
Beliau hijrah bersama saudara kandungnya yang kemudian dikenal dengan nama Abu Tanoh Mirah.
Dalam perjalan hijrah tersebut, kedua menempuh perjalanan dan sempat singgah di kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia, Pulau Weh – Sabang dan kemudian sampai ke Lamkabeu – Aceh daratan.
Di Lamkabeu, Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi sempat menetap beberapa saat.
Tetapi saudara kandung beliau memilih menetap dan mengajar mengaji di sana.
***
Perjalanan beliau berlanjut hingga sampai di bukit di Gle Sibru – Bireuen. Di sana beliau melaksanakan shalat Istikharah.
Setiap selesai shalat, beliau naik ke atas bukit tersebut dan menghadapkan pandangannya ke arah yang berbeda.
Malam pertama, Syeikh Abdurrahim Bawarith Asyi menghadap ke arah Selatan. Malam berikutnya ke arah Barat dan berikutnya lagi arah Utara. Namun tidak ada petunjuk apa-apa yang beliau peroleh.
Baru pada malam keempat beliau mendapatkan petunjukkan saat pandangannya dihadapkan ke arah Timur.
Saat itu matanyamelihat cahaya putih bersih menyembul dari suatu tempat. Beliaupun berkeyakinan di daerah asal cahaya putihh itulah tempat yang aman dan damai untuk dijadikan tempat tinggal.
Tempat itu kemudian dikenal dengan nama Awe Geutah. Berada di wilayah Peusangan Siblah Krueng – Bireuen – Aceh.
***
Cincin dan pedang adalah salah satu wasiat Teungku Chiek Awe Geutah saat beliau masih hidup.
Tu Awe Geutah menuturkan bahwa saat itu kepada keluarganya, Teungku Chiek Awe Geutah berwasiat, “Menyeu ulon meninggal, beuneupasoe peudeung ngen incin lam keureunda.”
[apalabila saya meninggal, masukkan cincin dan pedang ke dalam keranda]
Tu Awe Geutah adalah keturunan ke-7 Teungku Chiek Awe Geutah.
Tetapi untuk alasan yang tidak diketahui, wasiat itu hanya ditunaikan sebagian saja, yaitu cincin saja yang dimasukkan ke keranda.
Ketika wasiat itu diberikan Teungku Chiek Awe Geutah, anak kandung beliau, Teungku Chiek Muhammad Zein sedang belajar ilmu agama ke Arab dan baru pulang setelah Teungku Chiek Awe Geutah meninggal.
Wasiat itu menurut Teungku Cheik Muhammad Zein terkait dengan persinggahan Belanda di Aceh.
Saat mengungkapkan makna wasiat tersebut, keluarga Teungku Chiek Awe Geutah juga dibuat heran saat melihat dijemari Teungku Chiek Muhammad Zein terdapat cincin yang sama persis seperti yang dimasukkan ke keranda Teungku Chiek Awe Geutah.
***
Di akhir persinggahan dan upaya penaklukan Aceh, Belanda kemudian mengambil ulee rinyeun (tangga) dan sebelah pintu rumah Aceh dari rumah yang merupakan peninggalan Teungku Chiek Awe Geutah untuk dibawa pulang dan disimpan di meuseum Belanda.
Rumah yang dibangun Teungku Chiek Awe Geutah sekitar 790 tahun silam itu atau diperkirakan pada abad ke-13 Masehi. ***