DARIACEH: Hari itu aksi tidak terduga akibat senjata tua Teungku (seterusnya ditulis: Tgk) Fauzi Hasbi Geudong, Kepala Staf Angkatan Bersenjata ASNLF pimpinan Tgk. Hasan Muhammad di Tiro itu sedikit menggelikan, mendebarkan, sekaligus menjadi ‘penyelamat.’
Senjata tua hasil peninggalan Darul Islam Tgk. Daud Beureueh adalah satu-satunya andalan saat diproklamirkannya ASNLF, 4 Desember 1976 di Gunung Halimun, Tiro, Pidie.
Ceritanya, setelah memproklamirkan Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF) atau Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Hasan Tiro dan beberapa tokoh lainnya, seperti dr. Zaini Abdullah, Husaini Hasan, Daud Husain (Daud Paneuk), dan Dr. Muchtar Yahya Hasbi Geudong (wakil Wali Nanggroe) lebih banyak bersembunyi di pedalaman Aceh sambil mengatur strategi perjuangan.
Suatu ketika, sebagaimana ditulis majalah Tempo, saat sedang bersembunyi di kawasan pergunungan Aceh Utara, tentara pemerintah berhasil menandai titik persembunyian mereka. Para tentara sudah sangat dekat dan telah mengepung seluruh area. Mereka merayap secara perlahan dengan dukungan persenjataan modern.
Saat itu, Fauzi Hasbi Geudong, sedang membersihkan senjata tua miliknya. Tiba-tiba saja senjata itu meletus dengan sendirinya dan membuat para tentara pemerintah terkejut.
Mereka mengira keberadaannya telah diketahui lawan hingga melakukan tembakan balasan. Aksi itu membuat Tgk. Hasan Tiro dan kawan-kawan yang balik terkejut dan membuat mereka berhasil lolos dari pengepungan itu.
Baca juga: Teuku Umar
Masa Muda Hasan Tiro
Pada masa mudanya, ia adalah pelajar terpandang di Yogyakarta yang menjadi salah satu pejuang Revolusi Nasional Indonesia. Karirnya cemerlang dan orangnya cerdas.
Revolusi Nasional Indonesia adalah sebuah gerakan perjuangan dan diplomasi antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. Peristiwa ini terjadi sejak 17 Agustus 1945 hingga Kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan Republik Indonesia pada 29 Desember 1949.
Hasan saat itu adalah mahasiswa Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Tgk. Daud Beureueh adalah sosok yang merekomendasinya ke perdana menteri Indonesia waktu itu agar ia mendapat beasiswa. Hasan lalu belajar di Fakultas Hukum UII.
Ia lahir pada 25 September 1925 di Tiro, Pidie. Keturunan ketiga Tgk. Chiek Muhammad Saman di Tiro atau Tgk. Chiek di Tiro. Pahlawan Nasional Indonesia yang berperang melawan Belanda pada tahun 1890.
Belajar ke Amerika Serikat
Selepas dari UII Yogyakarta, di usia 25 tahun, Hasan kembali mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya ke Universitas Colombia. Saat di Amerika Serikat, ia juga memfokuskan diri untuk bekerja paruh waktu di misi Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ia kemudian memperoleh gelar lengkap dengan nama Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro, M.S., M.A., LL.D., Ph.D dari beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat. Disertasinya berjudul, “Konstitusionalisme Kesultanan Aceh.”
Selain di Universitas Colombia, ia pernah belajar di Universitas Fordham dan Universitas Plano.
Pandangannya berubah saat peristiwa apa yang ia sebut genosida (pembantaian etnis Aceh) atas tragedi Pulot, Cot Jeumpa, Leupung, Aceh Besar, 26 Februari 1954. Ekses tertembaknya prajurit pemerintah oleh DI/TII.
Dari PBB, Hasan lalu menyurati Perdana Menteri Amir Sastromidjojo. Tuntutannya dua, meminta Pemerintah Indonesia untuk meminta maaf kepada Aceh dan menghukum pelaku dengan seberat-beratnya.
Tenggat waktu dua minggu yang ia berikan tidak mendapat tanggapan dari Amir Sastromidjojo.
Hasan lalu memproklamirkan diri sebagai “Menteri Luar Negeri” Darul Islam pimpinan Tgk. Daud Beureueh. Darul Islam yang berdiri di Aceh tahun 1953 waktu itu hadir untuk menggulingkan Pancasila dan menggantinya dengan Negara Islam Indonesia yang menjalankan syariah.
Pemerintah Indonesia lalu mencabut status kewarganegaraan Hasan Tiro. Beberapa sumber menyebut, ia kemudian ditahan di penjara Ellis Island sebagai warga asing ilegal. Namun, koneksinya yang bagus dengan senator AS, membuat pemerintah setempat memberinya status permanent residence di New York. Perjuangan Darul Islam kemudian berakhir dengan damai.
Sejak tahun 1980, Hasan Tiro dan dr. Zaini Abdullah tinggal di Stockholm Swedia dan mendapatkan status kewarganegaraan di sana.
Baca juga: Cari Tau Yuk! Penyebab Orang Aceh Bermigrasi ke Yan Malaysia
Mufti: Tgk. Daud Beureueh
Dariaceh.com mencoba menelusur beberapa dokumen tentang struktur ASNLF pertama, salah satunya hasil penelitian Ajidar Matsyah, Azis bin Abdul Aziz yang menulis tentang Pasang Surut Hubungan Aceh-Jakarta Pasca MoU Helsinki.
Tgk. Hasan Tiro ketika itu membentuk Kabinet Negara Aceh Sumatera pada 24 Mei 1977, dan menempatkan Tgk. Daud Beureueh sebagai Mufti dari Negara Aceh Sumatera.
Penempatan Tgk. Daud Beureueh sebagai Mufti adalah bukti besarnya rasa hormat Hasan Tiro terhadap beliau yang ikut berjasa dalam kehidupannya.
Sementara pada posisi Dewan Syura, terdapat nama-nama, seperti Tgk. H. Ilyas Leubeu, Tgk. H. Ilyas Cot Plieng, Tgk. Hasbi, dan Tgk. Ayah Sabi.
Malik Mahmud sendiri saat itu menjabat Duta Kuasa Penuh yang berkedudukan di Singapura. Lalu dr. Zaini Abdullah sebagai Menteri Kesehatan.
Tgk. Hasan Tiro mem-flashback sejarah Aceh saat memproklamirkan ASNLF. Menurutnya, sebelum masa kolonial Belanda, Aceh adalah sebuah negara merdeka. Karena itu, tidak mengherankan dalam beberapa literatur dan kajian para peneliti, menyebutkan bahwa nama kabinet itu yang sebenarnya adalah Kabinet Negara Islam Aceh, walau tertulis Kabinet Negara Aceh.
Perubahan nama adalah bagian proses dan taktik politik dunia internasional. Terbukti bahwa nama ASNLF lebih terkenal di dunia internasional.
Merestui Perdamaian Aceh-Indonesia
Tgk. Hasan Muhammad di Tiro (Wali Nanggroe Aceh) mengangguk. Saat itu, ketika draf lengkap MoU Helsinki ada usai perundingan tanggal 15 Juli 2005, menurut sumber tulisan Munawar Liza Zainal (seorang tokoh intelektual GAM), para anggota tim di bawah pimpinan Malik Mahmud tergesa-gesa datang ke kediaman Hasan Tiro di Swedia. Wali lalu membaca draf tersebut.
Hal inilah yang kemudian memberi jalan bagi anggota Tim untuk perundingan selanjutnya dan mewujudkan perdamaian di tanah Aceh.
Perdamaian adalah hikmah terbesar dari musibah Tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004.
Pulang ke Aceh
Wali pulang ke Aceh utuk pertama kalinya setelah MoU Helsinki pada 11 Desember 2008. Sebelum sampai ke Aceh, beliau sempat singgah di Selangor, Darul Ehsan, Malaysia. Saat itu usianya telah menginjak 83 tahun.
Di Malaysia, Wali sempat bertemu dengan wartawan Aceh yang datang langsung dari Banda Aceh. Pertemuan yang sangat akrab dan membuat beliau sering melemparkan candaan.
Tetapi, dalam beberapa liputan wartawan lainnya, mata beliau sempat berkaca-kaca dan nyaris terisak saat mengatakan bahwa rakyat Aceh harus tau sejarah.
Ketika tiba di Banda Aceh pada 11 Desember 2008, ratusan ribu rakyat Aceh menyambut beliau di halaman Masjid Raya Baiturrahman dan menyampaikan pesan-pesan perdamaian.
Menghembuskan Nafas Terakhir
Setelah 15 Agustus 2005, hari itu Malik (PYM. Malik Mahmud Al-Haythar) kembali menangis dengan wajah memerah. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. “Orang yang kita cintai telah menghembuskan nafas terakhir,” katanya dengan nada datar. Sesaat begitu keluar dari ICCU tempat perawatan Wali.
Hari itu, 3 Juni 2010, Wali (Tgk. Hasan Muhammad di Tiro) meninggal dunia dalam perawatan di Rumah Sakit Zainoel Abidin dan dimakamkan dekat dengan makam leluhurnya, Tgk. Chiek di Tiro, Gampong Meureu, Montasik, Aceh Besar.
Semoga beliau husnul khatimah dan perdamaian tetap menyelimuti Aceh.