DARIACEH: Mereka berkorespondensi dengan Sultan Turki Ottoman dan memberikan dukungan kepada pihak Ottoman saat peristiwa Perang Russo-Ottoman antara Kekaisaran Rusia dan Kekaisaran Turki Ottoman.
Dari sederet ulama yang memberikan dukungan itu terdapat nama Muhammad Bin Ahmad Ba’id dan Abdul Salam Bin Jamaluddin Asyi asal Aceh.
More Coverage:
Turki Simpan 154 Korespondensi Aceh-Utsmaniyah, Apa Saja Isinya?
Keduanya merupakan dua ulama asal Aceh yang mengajar di Mekkah pada pertengahan abad ke-19 atau tahun 1850 Masehi. Catatan sejarah hubungan antara Aceh dan Ottoman sendiri telah ada sejak tahun 1600.
Filolog Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) PBNU, A Ginanjar Sya’ban mengatakan, selain dukungan para ulama tersebut, terdapat juga peninggalan abad ke-19 berupa kop surat yang dikirim oleh Sultan Mansur Syah asal Aceh untuk Sultan Abdul Majid Khan dari Turki Ottoman.
Menurut filolog yang pernah mempelajari arsip para sultan dan ulama Aceh di Perpustakaan Suleymaniye, Istanbul ini, Aceh sejak masa Kesultanan Pasai abad ke-16 telah menarik minat banyak ulama besar asal Timur Tengah. Bahkan Ibnu Battuta, legenda pengelana muslim sepanjang abad asal Maroko pernah mendatangi Pasai pada tahun 1337 Masehi. Beliau memuji Pasai sebagai daerah yang hijau dan banyak menghasilkan rempah-rempah.
Catatan Syaikh Mansur
Syaikh Manshur al-Mishri al-Azhari, seorang ulama besar dari al-Azhar Mesir juga pernah mendatangi Aceh pada tahun 1660 Masehi. Beliau mendokumentasikan kedatangannya ke Aceh dalam karya “Tuhfah al-Asma’ wa al-Abshar” atau “al-Sirah al-Mutawakkiliyyah”.
Syaikh Mansur, tutur Ginanjar, menggambarkan Aceh sebagai negara yang agung, berhawa sedang, dengan pasokan air bersih yang melimpah dan buminya sangat subur.
“Aceh sangat makmur. Hidup di sana sangat menyenangkan,” kata Ginanjar mengutip karya tulis Syaikh Mansur.
More Coverage:
Syiah Kuala Kritik Sikap Fanatisme Ar-Raniry
Penjelasan Ginanjar ini menelisik rasa penasaran peserta Seminar Literasi Digital Karya Ulama Aceh yang digelar LTN PWNU Aceh di Aula Biro Rektorat UIN Ar-Raniry, Senin (29/08/2022). Apalagi sejumlah pemerhati sejarah Aceh dari Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam UIN Ar-Raniry dan lembaga kebudayaan lainnya ikut hadir.
Dalam “Tuhfah al-Asma’ wa al-Abshar,” lanjut Ginanjar, Syaikh Mansur juga memberitahukan bahwa di Aceh terdapat 24 bahan tambang. Empat di antaranya adalah emas. Aceh juga negara yang mengekspor gajahdan berbagai jenis rempah. Terutama kapur barus dan lada.
Syaikh Manshur, lanjut Ginanjar, juga tidak lupa menulis tentang pemimpin Aceh yang seorang perempuan. Hal yang mustahil di belahan negara Muslim lainnya.
“Pemimpinnya seorang perempuan. Muslimah. Pemilik keutamaan dan kesempurnaan. Dermawan dalam hartanya yang melimpah. Memiliki kegemaran membaca, pengetahuan dan keilmuan. Ia juga pemrakarsa amal kebajikan, dekat dengan al-Qur’an dan para ahlinya. Ia bernama ‘Shafiyatuddin Syah Berdaulat,” tulis Syaikh Mansur, mengutip dari Ginanjar.
More Coverage:
Ulama Pemegang Sah Mandat Kesultanan Aceh?
Karya ulama Aceh
Bukan hanya alamnya yang kaya dan negerinya yang makmur, Ginanjar mengatakan, Aceh juga kaya akan karya-karya ulama. Bahkan kitab tafsir Al-quran terlengkap pertama di nusantara berjudul Tarjuman al-Mustafid ditulis oleh ulama Aceh, Syaikh Abdul Rauf Singkil pada tahun 1693 Masehi. Kitab tersebut ditulis dalam bahasa Jawi atau Melayu aksara Arab.
Syaikh Abdul Rauf Singkil juga menulis kitab lainnya dalam bahasa Arab, berisi kajian ilmu tasawuf. Kitab itu saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
A Ginanjar Sya’ban bersama tim Nahdlatut Turots mentahqiq kitab ilmu tasawuf ini pada tahun 2021.
Ulama Aceh lainnya, Syaikh Abdul Salam Bin Idris al-Asy pada akhir abad ke-19 juga pernah menghimpun keputusan dan fatwa Sayyid Ahmad Bin Zaini Dahlan dan beberapa mufti Makkah. Terutama terkait persoalan keagamaan yang berasal dari Asia Tenggara.
Kitab berjudul “Muhimmah al-Nafa’is” yang ditulis Syaikh Abdul Salam ini bahkan diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Nico J Kaptein (Leiden) pada tahun 1997. Ia memberinya judul, “The Muhimmat al-Nafais: A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian Muslim from the End of the Nineteenth Century.”
Perpustakaan Universitas Leiden
Selain kitab tafsir Syaikh Abdul Rauf Singkil dan Syaikh Abdul Salam, Ginanjar juga mengungkapkan banyak manuskrip karya ulama Aceh lainnya yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
More Coverage:
Kedatangan Orang Arab Abad 1 H di Aceh [Tashi] Dalam Catatan Tionghoa
Di Perpustakaan Universitas Leiden pula terdapat kitab karya Syaikh Abbas Bin Muhammad Kuta Karang yang disalin T Nyak Banta, Panglima XXVI, tahun 1891.
Menurut Ginanjar, Aceh adalah kiblat utama dalam sejarah tradisi keilmuan Islam di kawasan Asia Tenggara. Daerah dengan syariat Islam ini juga memiliki kekayaan khazanah sejarah peradaban Islam yang melimpah ruah.
“Mulai dari artefak, catatan sejarah, arsip dan juga manuskrip karya ulama. Bahkan tradisi penulisan karya ulama Nusantara bermula dari Aceh.” Jelas Ginanjar.
Beberapa karya ulama Aceh, tutur dia, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Nuruddin ar-Raniry, dan Abdul Rauf Singkil adalah tonggak kebangkitan kitab kesusastraan Melayu-Nusantara Klasik. “Ulama Aceh mengilhami juga karya-karya ulama wilayah kepulauan Asia Tenggara generasi berikutnya,” tuturnya
Surat untuk Sultan Maldives
Berdasarkan sumber dari Makkah al-Mukarramah Library, KSA, menurut Ginanjar, juga terdapat kitab ulama Aceh untuk Sultan Maldives.
Pembuka kitab itu tertulis, “Telah selesai kitab dari permasalahan-permasalahan fikih. Pemiliknya adalah Tuan Kita yang allamah dan fahhamah, yang masyhur nan cerdas, yang mencintai para fakir miskin, ialah Tuan Kita Sultan Hasan Nûruddîn anak dari Sultan Hasan ‘Izzuddîn, semoga Allah mengampuni(nya) dan kedua orang tuanya. Penulisnya adalah seorang yang fakir lagi hina, yang remeh, lemah, dan banyak dosa, ialah Muhammad Thâhir orang Jawi (Nusantara) dari Aceh (Âsyî) negerinya.”