DARIACEH: Smong bagi masyarakat Simeulue, ie beuna di Aceh Selatan menjadi saksi sejarah dasyatnya gempa dan tsunami Aceh sebelum tahun 2004.
Diantaranya terjadi tahun 1907, 1940, dan 1964. Sejumlah saksi hidup pernah memberikan testemoni mereka tentang kejadian itu.
Salah satunya seperti dipublikasikan Internasional Journal of Asia Digital Art & Design tahun 2017 lalu.
Sebagai peneliti, Nurjanah, Inoeu Hiroki, Hidenori Watanave memberi nilai 3 atau valid khusus untuk pengakuan tsunami tahun 1964.
Seterusnya nilai 4 atau sangat valid untuk kesaksian gempa dan tsunami tahun 1907 dan 1940.
Bagi mahasiswa Tokyo Metropolitan University itu, sejarah gempa dan tsunami Aceh harus bersifat open source. Hal itu penting agar masyarakat dalam mengambil pelajaran dari setiap kejadian.
Cut Putri Dian, 39 tahun, warga Gampong Padang IV, Ujung Kala, Aceh Barat menceritakan tentang sang nenek yang tau akan terjadi tsunami tahun 2004 silam.
Saat gempa di pagi hari bulan Desember 2004, nenek saya berkata, “air laut akan segera naik!”
Kami berpikir bahwa nenek saya sudah sangat tua dan mungkin ia pikun.
Ketika air laut datang, kami mencoba mencarinya karena ia bisa bangun dari tempat tidurnya.
“Saya kehilangan nenek dan suami, tetapi anak saya selamat,” kata Putri.
“Menurut cerita dari nenek, kakek kami lahir pada saat kejadian itu, yaitu ie beuna. Pada pagi itu, air di laut tampak sangat tinggi. Para pemuka agama mendekati pantai dan mengumandangkan adzan. Air laut pecah di pantai dan sebagian kecil air masuk tanah. Itu sebabnya kakek kami bernama Teuku Leupek,” lanjutnya, mengenang cerita neneknya terdahulu.
Baca juga: Cari Tau Yuk! Penyebab Orang Aceh Bermigrasi ke Yan Malaysia
Kesaksian Tsunami Tahun 1907
Rukiah, 118 tahun, asal Gampong Teupah Barat Simeulu mengisahkan, “pada tahun 1907, gempa bumi terjadi sebelum salat Jum’at. Saya dulu seorang anak kecil dan tidak tahu apa-apa. Waktu itu tanah retak dan terbuka.”
Ia menceritakan, ayahnya lalu membawa mereka ke pegunungan. Tetapi, setelah shalat, orang-orang datang ke pantai untuk melihat air laut surut.
“Tiba-tiba smong (tsunami) datang dan banyak orang meninggal.”
“Saat gempa Desember 2004 dan air sungai di muara surut dengan cepat, saya tahu akan ada smong. Itu terdengar seperti daun pandan terbakar. Jadi, saya berteriak smong. Lalu semua orang lari ke gunung,” kisah Rukiah.
Hamidah, 120 tahun, warga Gampong Bunta, Krueng Sabe, Aceh Jaya juga merasakan gempa dan tsunami tahun 1907. “Air sungai Krueng Sabe tumpah,” ceritanya. “Saya juga mengalami gempa tujuh hari dan tujuh malam pada masa perang DI/TII.”