BANDA ACEH: Kasus gagal ginjal akut menimpa ratusan anak di Indonesia. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga telah menghimbau untuk menghentikan penggunaan obat sirup. Hal ini menyusul terdeteksinya tiga zat kimia berbahaya, yakni ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE).
Lalu bagaimana bisa ketiga zat kimia berbahaya itu ada di dalam obat sirup? Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Apt Zullies Ikawati PhD menjelaskan, EG dan DEG merupakan satu cemaran yang bisa dijumpai pada bahan baku pelarut pada obat sirup.
Pada obat parasetamol dan banyak obat lainnya yang sukar larut air memerlukan bahan tambahan untuk kelarutannya. Biasanya di Indonesia menggunakan propilen glikol atau gliserin.
More Coverage:
5 Buah-Buahan Dalam Al-Qur’an, Nomor 3 & 5 Tumbuh di Indonesia
Menurut Zullies, bahan baku propilen glikol atau gliserin ini dimungkinkan mengandung cemaran zat tersebut.
“Sebenarnya ini wajar dan kalau masih dalam ambang batas tidak berisiko menimbulkan efek toksik. Termasuk gagal ginjal akut,” jelasnya.
Faktor Gagal Ginjal Akut Lainnya
Guru Besar Farmakologi dan Farmasi UGM ini juga mengatakan, ada berbagai faktor lainnya yang menjadi penyebab gagal ginjal akut. Misalnya, adanya infeksi tertentu seperti leptospirosis yang salah satunya bisa menyerang ginjal.
Selain itu, kata Zullies, infeksi bakteri E. coli juga dapat menyebabkan gagal ginjal akut. Tetapi, kajian sementara dari Kemenkes menyebutkan, penapisan terhadap virus dan bakteri belum terbukti kuat sebagai penyebab gagal ginjal akut.
Gunakan Obat Tablet atau Puyer
Menyikapi fenomena ini, Prof Zullies mengimbau para orangtua sebaiknya sementara waktu menghindari konsumsi obat sirup hingga memperoleh hasil yang lebih pasti.
“Apabila anak-anak demam, batuk, dan pilek sebaiknya mengonsumsi obat parasetamol dalam bentuk puyer, kapsul, tablet atau bentuk lainnya,” sarannya.
Untuk mengurangi rasa pahit, tutur Zullies, bisa menambahkan pemanis yang aman bagi anak. Tidak kalah penting untuk selalu mengonsultasikan efek penggunaan obat sirup dengan dokter maupun apoteker.
“Untuk parasetamol yang sifatnya mengurangi gejala, mungkin penggunaan sirup lebih berisiko ketimbang manfaatnya saat ini,” lanjutnya.
Zullies menyebutkan, imbauan untuk tidak menggunakan obat sirup untuk semua pengobatan adalah keputusan dilematis. Sebab, anak-anak adalah kelompok usia yang lebih banyak menggunakan obat sirup karena belum bisa menelan obat tablet.
Selain itu, penghentian penggunaan obat sirup akan berdampak bagi anak-anak penderita penyakit kronis. Misalnya, anak dengan epilepsi yang harus minum obat rutin. Ketika menghentikan obatnya atau mengubah bentuknya bisa saja menjadikan kejangnya tidak terkontrol.
“Mstinya, aturannya harus tetap bijaksana dan tetap mempertimbangkan risiko dan manfaat,” imbuh Zullies.