Resolusi konflik di kepulauan Aland menjadi model MoU Helsinki dalam mendamaikan RI-GAM.
DARIACEH: Martti Ahtisaari meminta Mary, anggota CMI (Crisis Management Initiative) yang diketuainya untuk membuka pintu ruangan agar para delegasi GAM bisa keluar.
Itu adalah titik nadir seorang mantan presiden kharimatik Finlandia saat perundingan berlangsung bertele-tele dan masih saja berkutat pada gencatan senjata dan referendum.
Tetapi tidak ada dari para anggota delegasi GAM yang memperlihatkan gelagat hendak beranjak pergi.
Martti mulai memperlihatkan ketegasan dan pengaruhnya dalam perpolitikan dunia.
“Memfasilitasi perundingan dengan pembicaraan yang bertele-tela hanya buang-buang waktu,” kata Martti.
Baca juga: Kesaksian-kesaksian Gempa & Tsunami Aceh Tahun 1907, 1940 & 1964
Kedua delegasi, RI-GAM sontak terdiam. Sejak itu, perundingan mulai fokus membahas isu otonomi.
Kepulauan Aland
Sejak CMI mengirim undangan ke dua delegasi, RI-GAM, dari awal Martti sebenarnya sudah mencoba membatasi perundingan pada isu otonomi dan menutup pintu merdeka.
Hal itu antaranya terlihat dari pandangan Martti dalam wawancara dengan sebuah stasiun televisi lokal di Finlandia.
Malik Mahmud Al-Haythar sebagai pemimpin delegasi GAM tentu paham betul dengan itu. Pada peringatan 11 tahun MoU Helsinki, Malik yang kini menjadi pemangku Wali Nanggroe Aceh mengakui itu secara implisit.
Ia mendengar dan menyimak wawancara Martti dengan televisi lokal Finlandia. Saat itu, Martti berbicara panjang lebar tentang sebuah kepulauan di Finlandia yang awalnya terus berkonflik.
Faktanya, penghuni pulau itu adalah keturunan dan berbahasa Swedia, tetapi menjadi bagian dari Republik Finlandia. Namanya kepulauan Aland. Sebuah wilayah demiliterisasi.
Setelah Finlandia merdeka dari Rusia tahun 1917, tokoh kepulauan Aland membentuk organisasi gerakan reuni Swedia. Langkah itu lalu memancing gerakan (militer) nasional Finlandia dan menangkap tokoh reuni Swedia.
Swedia lalu merespon dengan menarik pulang diplomatnya.
Antara Aland dan Aceh
Tahun 1920 Parlemen Finlandia lalu mengadopsi sebuah Undang-Undang Otonomi, tetapi hal itu tidak menyelesaikan persoalan. Bahkan penduduk kepulauan Aland menolak undang-undang tersebut.
Sampai kemudian pada Juni 1921, mereka menerima kompromi otonomi yang lebih luas. Mempunyai bendera sendiri, dewan legislatif, serta pemerintahan yang dipimpin oleh seorang gubernur dan perdana menteri.
Mengutip Wikipedia, Undang-Undang Otonomi Kepulauan Aland sendiri telah mengalami revisi pada tahun 1951 dan 1991.
Hampir mirip dengan kewenangan Aceh kini yang juga punya hak untuk bendera sendiri, gubernur dan Wali Nanggroe sebagai pengganti Perdana Menteri.
Tetapi kepulauan ini tetap sebagai bagian tidak terpisahkan dari Republik Finlandia.
Konsekuwensi dari otonomi yang lebih luas, wilayah kelupalauan Aland lalu dinetralkan dari demiliterisasi. Mereka juga punya hak untuk mempertahankan budaya setempat.
Hal yang tidak kalah dari Aceh adalah, ternyata kepulauan Aland juga memiliki sistem partai politik yang berbeda dengan daratan Republik FInlandia pada umumnya. Lagi-lagi hal yang sangat mirip dengan Aceh bukan?
Tidak hanya itu, penduduknya juga dibebaskan dari kewajiban wajib militer.
Berada di Laut Baltik
Kepulauan Aland berada di Laut Baltik. Pintu masuk teluk Bothnia. Beribukota Mariehamn.
Mereka aktif mendirikan Aland Island Piece Institute (AIPI), sebuah organisasi para pemikir yang mengkampanyekan contoh resolusi konflik yang sukses ke seluruh dunia.
Wilayah ini memilik sekitar 6.700 pulau yang umumnya adalah pulau karang dan memiliki view yang menawan. Mengutip BBC, kedamaian dari penduduk kepulauan Aland malah mengalahkan keindahan view itu sendiri.
Membangun dengan Gotong-Royong
Penduduk Aland kini hidup makmur dan sejahtera. Mereka terkenal karena sifat gorong-royong dalam membantu tetangga dan membangun wilayahnya sendiri.
Bahkan, kalau bukan karena Covid-19, pada penduduk kepulauan Aland sudah membuat acara reuni besar-besaran selama setahun penuh memperingati 100 tahun berdirinya wilayah itu.