Snouck Hurgronje pernah mengutip surat yang ditulis Teungku Chik di Tiro kepada Belanda pada masa pemerintahan Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah. Teungku Chik di Tiro selaku menteri perang menyampaikan keheranannya kepada Belanda karena terus menerus memerangi, mencari, dan mengajak Sultan menyerah atau berpihak kepada Belanda. Beliau lalu menulis siapa sebenarnya yang paling berkuasa di Kesultanan Aceh.
Saat itu pemerintahan telah pindah ke Kuta Keumala Dalam, Pidie.
*
Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah diangkat sepeninggal Sultan Mahmud Syah yang wafat diusia muda karena terserang kolera. Banyak pihak curiga Belanda sengaja membawa wabah kolera ke Aceh.
Bila menilik garis keturunan, Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah adalah cucu dari Sultan Ibrahim Mansur Syah. Saat menjadi sultan, usianya masih tujuh tahun. Pemerintahan sementara lalu berjalan dengan dukungan Dewan Pemangku. Ketuanya adalah Tuanku Hasyim.
Ketika usia telah dewasa (baligh) dan menjalankan tampuk pemerintahan, Sultan Tuanku Daud Syah lalu melantik Teungku Chik di Tiro sebagai menteri perang; Teuku Umar, laksamana (wazirul bahri); dan Panglima Nyak Makam, panglima kawasan Aceh Timur.
Tetapi pihak Belanda tidak mengakui tahta Tuanku Daud Syah dan menyebutnya sebagai pretender, seseorang yang sekedar mengklaim dirinya berhak menduduki tahta.
Sejak tahun 1874, pemerintahan Kesultanan Aceh senantiasa berpindah-pindah. Saat Montasik jatuh tahun 1878, posisi Indrapuri sebagai pusat pemerintahan kembali terancam. Awal tahun 1879, Sultan Tuanku Daud Syah lalu kembali memindahkan pusat pemerintahan ke wilayah Keumala, Pidie.
Sultan bertahan selama 20 tahun dan menamai pusat pemerintahan Kesultanan Aceh dengan nama Kuta Keumala Dalam.
Baca juga: Perang Aceh dan Cara Teuku Umar Memperlakukan Perempuan Amerika
Teungku Chik di Tiro Wafat
Tahun 1891, Teungku Chik di Tiro wafat karena diracun. Pada tahun tersebut dua tokoh berpengaruh lainnya juga wafat, yaitu (1) Panglima Polem Cut Banta. Posisi ini digantikan oleh anaknya, Muhammad Daud, selanjutnya terkenal dengan Panglima Polem. (2) Tuanku Hasyim yang pernah memangku jabatan ketua Dewan Pemangku pemerintahan Aceh sebelum Tuanku Daud Syah dewasa.
Ketiganya adalah tokoh-tokoh besar di Kesultanan Aceh dan ikut mempengaruhi kekuatan pemerintahan. Tahun 1900 Belanda mengetahui keberadaan Sultan Tuanku Daud Syah yang telah memindahkan pemerintahan ke Batee Iliek, Bireuen.
Jenderal Heutsz, sebagai gubernur merangkap penglima perang Belanda untuk Aceh lalu memimpin penyerangan terhadap Tuanku Daud Syah. Dalam perlawanan yang sengit, Tuanku Daud Syah mundur ke markas perjuangan Peudada, Peusangan, dan akhirnya memilih pusat pertahanan tanah Gayo pada September 1901.
Para kejuruan (raja) di tanah Gayo mendukung penuh Sultan Tuanku Daud Syah. Belanda lalu mengirim 12 Brigade untuk menangkap beliau ke Gayo. Pertempuran berlangsung hingga November 1901, tetapi Belanda kembali gagal. Bahkan sultan dapat kembali bertahta di hulu Pante Raja, Pidie.
Baca juga: Pendapat Media Inggris, Times Tentang Watak Orang Aceh
Siasat Belanda
Belanda muncul dengan penuh kegamangan, lalu mendatangkan Letnan Christoffel untuk menculik dua istri Tuanku Daud Syah, yaitu Pocut Putroe dan berselang satu bulan, yakni Desember 1902 kembali menangkap istrinya yang kedua, Pocut Murong dan seluruh anggota keluarganya di Kampung Peureulak, Lamlo, Pidie.
Belanda lalu mengultimatum Tuanku Daud Syah untuk menyerahkan, bila tidak, istri dan seluruh anggota keluarganya akan dibunuh. Tuanku tidak punya pilihan, selain menyerahkan diri ke Belanda.
Menurut catatan sejarah, saat Belanda membawanya ke Ulee Lheu dengan kapal perang Sumbawa, rombongan Tuanku Daud Syah berjumlah 175 orang. Termasuk dua panglima sagi XXV dan XXVI.
Selepas Tuanku Daud Syah menyerah, Panglima Polem yang juga menjabat panglima sagi akhirnya ikut menyerahkan diri kepada Belanda. Bersama dua panglima sagi lainnya, Panglima Polem punya kewenangan untuk menentukan siapa yang akan menjadi pengganti sultan yang telah meninggal atau dimakzulkan.
Penangkapan Tuanku Daud Syah ternyata tidak menghentikan perlawanan terhadap Belanda. Bahkan seorang kapten artileri Belanda, G.W.F. Borel menulis, “Pengalaman telah membuktikan bahwa Aceh tidak membutuhkan seorang sultan untuk secara gigih terus melawan kita.”
Baca juga: Tekanan Politik & Terbakarnya Istana Kerajaan Aceh
Snouck Hurgronje
Teungku Chik di Tiro pernah menulis surat kepada Belanda pada masa pemerintahan Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah. Saat itu pemerintahan telah pindah ke Keumala, Pidie.
Snouck Hurgronje lalu mengutip surat tersebut. Saat itu Teungku Chik di Tiro menyampaikan keheranannya kepada Belanda karena terus menerus memerangi dan mencari cara mengajak Tuanku Daud Syah menyerah atau berpihak kepada Belanda. Beliau lalu menulis siapa sebenarnya yang paling berkuasa di Kesultanan Aceh.
Sultan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa berunding dengan Teungku Kali Malikul Adil, Teuku Ne, Panglima Meusinget Raja dan Imam Lueng Bata. Namun, para pembesar tersebut tidak pula bisa berbuat apa-apa karena mereka bergantung pada Panglima Sagi. Sedangkan para panglima sagi bergantung pada wakil rakyat.
Tetapi para wakil rakyat juga tidak bisa mengabil keputusan apa-apa kalau tidak sesuai dengan pendapat para ulama. Selanjutnya ulama hanya menutuskan sesuatu atas dasar hukum Allah dan Rasul.
Hurgronje lalu memberi nasehat kepada Belanda agar tidak mencoba-coba berunding dengan musuh aktif, terutama jika mereka terdiri dari para ulama.
Baca juga: Banda Aceh Tahun 1621 Dalam Gambaran Laksamana Perancis
Mandat Sultan Aceh
Proklamasi Swieten tahun 1874 memproklamirkan bahwa Belanda tidak mengakui tahta seorang sultan di Aceh tanpa persetujuannya. Karena itupula Belanda menganggap Tuanku Daud Syah sebagai pretender.
Tetapi sesuatu yang bertolak belakang terjadi tatkala Tuanku Daud Syah menyerah dengan terpaksa dan menandatangani penyerahan Aceh dalam keadaan force majeur atas nama Sultan Aceh.
Mengutip dari buku Aceh Sepanjang Abad (Said., H. M: 2007), Aceh menganut sistem monarkhi tidak absolut. Sultan tidak mengambil keputusan penting sendiri. Keputusan terakhir tetap berada di tangan ulama yang memutuskan atas dasar hukum Allah dan Rasul.
Maka, sebelum Sultan Tuanku Muhammad Daud Syah menyerahkan diripun, pemerintahan Kesultanan Aceh telah dimandatkan kepada para pejuang, yakni dari golongan ulama.
Karena itupula, perang Aceh terkenal sebagai perang semesta rakyat Aceh atau dalam istilah Belanda “volks-oorlog.” Perjuangan melawan Belanda juga masih terus berlanjut. Dalam catatan sejarah, muncul hingga 100 lebih ulama yang memimpin perjuangan melawan Belanda, mulai dari Pidie, Aceh Besar, Timur dan Barat Aceh, hingga Gayo.
Di Aceh Besar, ulama pejuang itu seperti Teungku di Eumpee Trieng; Pidie, Teungku Cot di Plieng dan kedua anak Teungku Chik di Tiro, yaitu Teungku Maet di Tiro dan Teungku di Buket; di Aceh Utara dan Timur, Teungku di Paya Bakong; Aceh Barat, Cut Nyak Dhien dan Teungku Susoh, dan banyak lainnya.